Tentang Bangkalan
Bangkalan dulunya lebih dikenal dengan sebutan Madura barat.
Penyebutan ini, mungkin lebih ditekankan pada alasan geografis.
Soalnya, Kabupaten Bangkalan memang terletak di ujung barat Pulau
Madura. Dan, sejak dulu, Pulau Madura memang sudah terbagi-bagi.
Bahkan, tiap bagian memiliki sejarah dan legenda sendiri-sendiri.
Berikut laporan wartawan Radar Madura di Bangkalan, Risang Bima Wijaya secara bersambung.
Menurut
legenda, sejarah Madura barat bermula dari munculnya seorang raja dari
Gili Mandangin (sebuah pulau kecil di selat Madura) atau lebih
tepatnya di daerah Sampang. Nama raja tersebut adalah Lembu Peteng,
yang masih merupakan putra Majapahit hasil perkawinan dengan putri
Islam asal Campa. Lembu Peteng juga seorang santri Sunan Ampel.
Dan, Lembu Peteng-lah yang dikenal sebagai penguasa Islam pertama di Madura Barat. Namun
dalam perkembangan sejarahnya, ternyata diketahui bahwa sebelum Islam,
Madura pernah diperintah oleh penguasa non muslim, yang merupakan yang
berasal dari kerajaan Singasari dan Majapahit. Hal ini diperkuat
dengan adanya pernyataan Tome Pires (1944 : 227) yang mengatakan, pada
permulaan dasawarsa abad 16, raja Madura belum masuk Islam. Dan dia
adalah seorang bangsawan mantu Gusti Pate dari Majapahit.
Pernyataan itu diperkuat dengan adanya temuan – temuan arkeologis,
baik yang bernafaskan Hindu dan Bhudda. Temuan tersebut ditemukan di
Desa Kemoning, berupa sebuah lingga yang memuat inskripsi. Sayangnya,
tidak semua baris kalimat dapat terbaca. Dari tujuh baris yang terdapat
di lingga tersebut, pada baris pertama tertulis, I Caka 1301 (1379 M), dan baris terakhir tertulis, Cadra Sengala Lombo, Nagara Gata Bhuwana Agong (Nagara: 1, Gata: 5, Bhuwana: 1, Agong: 1) bila dibaca dari belakang, dapat diangkakan menjadi 1151 Caka 1229 M.
Temuan lainnya berupa fragmen bangunan kuno, yang merupakan situs
candi. Oleh masyarakat setempat dianggap reruntuhan kerajaan kecil.
Juga ditemukan reruntuhan gua yang dikenal masyarakat dengan nama Somor Dhaksan, lengkap dengan candhra sengkala memet bergambar dua ekor kuda mengapit raksasa.
Berangkat
dari berbagai temuan itulah, diperoleh gambaran bahwa antara tahun
1105 M sampai 1379 M atau setidaknya masa periode Singasari dan
Majapahit akhir, terdapat adanya pengaruh Hindu dan Bhudda di Madura
barat.
Sementara temuan arkeologis yang menyatakan masa klasik Bangkalan,
ditemukan di Desa Patengteng, Kecamatan Modung, berupa sebuah arca Siwa
dan sebuah arca laki-laki. Sedang di Desa Dlamba Daja dan Desa
Rongderin, Kecamatan Tanah Merah, terdapat beberapa arca, di antaranya
adalah arca Dhayani Budha.
Temuan
lainnya berupa dua buah arca ditemukan di Desa Sukolilo Barat
Kecamatan Labang. Dua buah arca Siwa lainnya ditemukan di pusat kota
Bangkalan. Sementara di Desa Tanjung Anyar Bangkalan ditemukan bekas
Gapura, pintu masuk kraton kuno yang berbahan bata merah.
Di samping itu, berbagai temuan yang berbau Siwais juga ditemukan di
makam-makam raja Islam yang terdapat di Kecamatan Arosbaya. Arosbaya
ini pernah menjadi pusat pemerintahan di Bangkalan. Misalnya pada makam
Oggo Kusumo, Syarif Abdurrachman atau Musyarif (Syech Husen). Pada
jarak sekitar 200 meter dari makam tersebut ditemukan arca Ganesha dan
arca Bhirawa berukuran besar.
Demikian
pula dengan temuan arkeologis yang di kompleks Makam Agung Panembahan
Lemah Duwur, ditemukan sebuah fragmen makam berupa belalai dari batu
andesit.
Dengan
temuan-temuan benda kuno yang bernafaskan Siwais di makam-makam Islam
di daerah Arosbaya itu, memberi petunjuk bahwa Arosbaya pernah menjadi
wilayah perkembangan budaya Hindu. Penemuan benda berbau Hindu pada
situs-situs Islam tersebut menandakan adanya konsinyuitas antara
kesucian. Artinya, mandala Hindu dipilih untuk membangun arsitektur
Islam.
Arosbaya
merupakan pusat perkembangan kebudayaan Hindu di Madura Barat
(Bangakalan) semakin kuat dengan adanmya temuan berupa bekas pelabuhan
yang arsitekturnya bernafaskan Hindu, dan berbentuk layaknya sebuah
pelabuhan Cina.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar